]

Pelangi Mobil Senja


Genap sudah 2 tahun aku putus dengannya, pertama putus dengan gadis yang ku cintai dan yang kedua putus dengan gadis yang ku kagumi, hanya berselang satu minggu jaraknya. Ini lah ceritaku, pria yang akan menemukan jalan cinta untuk hati, pikiran dan kehidupanku.
Siapa pun yang mengenalku mereka akan mengatakan aku adalah pria yang humoris, lucu, konyol, menyenangkan dan satu lagi menyebalkan. Ya, untuk yang terakhir, itu lah salah satu kekurangan ku tapi juga menjadi salah satu daya tarik diriku. Menyebalkan sekaligus ngangenin itu yang mereka sering katakan kepadaku dan tentunya dengan nada suara mereka yang membuatku tertawa sekaligus senang. Karena sifatku yang riang dan apa adanya lah teman-temanku betah mendengar segala ocehanku ha ... ha ... dan kali ini ku harap kalian juga mau mendengarkan ceritaku.
Tapi kini semuanya berubah, ketika aku terpuruk dalam cinta. Aku seperti orang yang kebingungan, linglung dan suka menyendiri. Tak ku percaya, tapi ini nyata bahwa cinta dapat membuatku seperti ini. Mengapa cinta yang sebelumnya berada di tanganku dan ku mainkan seperti apa yang ku inginkan, kini malah berbalik kepadaku dan menyerangku.Dan cinta lah yang membuat untuk pertama kalinya aku menangis, di setiap malam datang, aku pun bersandar di tembok kamarku dengan penuh penyesalan mengenang semua cerita indah cintaku yang mekar indah di taman hidupku. 4 tahun dan 6 bulan merangkai cinta dan keduanya harus berakhir dengan duka.
Kamis, 14 Oktober 2004
Pukul 06:45 Pagi di stasiun Kereta Buaran [3] .
"Masih sepi," batinku pelan. Mataku menatap kursi - kursi panjang di peron stasiun. Hanya ada beberapa penumpang di sana, dan mereka pun terlihat sama denganku. Seperti tidak bersemangat, mungkin karena pagi ini udara begitu dingin, rintik-rintik hujan terlihat di langit yang tertutup awan kelabu, dan hampir semuanya terlihat bergetar diriku.
"Mobil pagiku," ujarku pelan. Dari jauh terlihat lampu berwarna kuning di ujung moncong kepala mobil. Mobil meluncur pelan dan kemudian berhenti di peron stasiun. Suara sang masinis di dalam stasiun memberitahukan kereta jurusan Kota telah sampai di stasiun Buaran dan akan segera melanjutkan perjalanannya.
Aku pun bergegas untuk naik ke dalamnya, jangan tanya kondisi mobil saat pagi hari.Penuh sesak dengan penumpang. Jangankan untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk duduk, berdiri saja sudah penuh dengan perjuangan. Dengan cepat aku menyelinap kedalam mobil. Aku tak ingin bergelantungan di pintu kereta yang penuh sesak ini. Instingku bilang, berbahaya bila aku berdiri dan berdesakan di sana, belum lagi bila ada kejahatan yang akan mengincarku atau kecerobohan seseorang atau diriku sendiri yang bisa membawa maut datang lebih cepat kepadaku, ujar batinku pelan sambil melirik ke arah para kaum pria yang begitu senang berdiri bergelantungan di pintu mobil dan anehnya mereka seperti menikmatinya.
Mobil pun tak menunggu lama, jeritan sang masinis penjaga di stasiun Buaran melengking panjang dan di sertai suara kereta yang mulai bergerak pelan dan kemudian berlari cepat.Aku pun langsung mengapit keras lengan - lengan besi yang menjadi peganganku. Suara rel baja dan roda - roda kereta mulai terdengar keras di telingaku dan juga para penghuni di dalamnya yang saling berbicara dengan keras.
"Maaf, tidak sengaja," sentakku tiba - tiba, ketika tanpa kusadari sebagian jari tanganku mengapit jari tangan seorang gadis. Ia hanya menatap wajahku dengan pandangan datar, mungkin ia bertanya dalam hatinya, siapa pria ini yang mengapit jari - jari tangannya. Aku pun lalu mengeser peganganku di besi tersebut dengan cepat ..
"Ngga papa kok," jawabnya datar. Ia lalu tersenyum dan aku pun membalas senyum tersebut. Kini kami saling berpandangan sambil masih terus tersenyum. Tiba - tiba kami pun saling mengalihkan pandangan. Aku sempat merasakan detak jantungku yang mulai berdetak cepat, secepat laju mobil pagi ini. Ketika aku mencuri pandang lagi kearahnya ia pun tertunduk malu ketika mata kami saling beradu.
"Masya Allah, wajahnya begitu teduh, ku rasa aku dan hatiku mengatakan hal yang sama, kalau aku menyukainya," batinku pelan. "Benarkah, bukannya aku baru melihatnya, masa semudah itu kamu menyukainya," kata akalku. "Bisa saja, dia cantik," kata mataku membantah ucapakan akalku. Ya, dia juga lembut, tambahkan kata hatiku. Aku hanya mengangguk - ngangguk setuju saja ketika mata dan hatiku kali ini singkron dengan diriku, tinggal akalku yang terus mencoba memintaku untuk berpikir logis. Mana ada hal yang logis dalam urusan suka dan cinta, ujarku sambil tersenyum.
"Hi, berangkat kerja ya," ujarku mencoba memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Ia menjawab dengan lembut di sertai anggukan pelan dan aku pun terpana ketika beberapa anak rambutnya jatuh dan menutupi telinganya yang putih dan kecil. "Aku menyukai telinganya yang kecil ini," batinku lagi yang entah gimana tanpa ku sadari aku menyusuri setiap keindahan sosok didepanku ini.
"Saya Wisnu," kataku lagi dan aku pun nekat mengulurkan tanganku, berharap ia tidak akan menolaknya.
"Riezka."
Ia pun menyambutnya, dan dadaku pun bergetar halus ketika tangannya yang kecil mungil tersentuh oleh tanganku, ternyata sentuhan ini memberikan getaran - getaran aneh yang menjalar masuk ke dalam darahku. Dan aku pun makin terpesona ketika ia tersenyum manis ke arahku. Ya Tuhan aku tak percaya bisa melihat senyum seindah ini dan aku pun mengulang lagi apa kata ku dan hatiku, aku benar - benar menyukainya. Dan kali ini akalku menyerah oleh keputusanku.
"Turunnya di mana?" Tanyaku lagi.
"Kota, kamu?" Tanyanya balik.
"Senen."
Dan tanpa ku rasa, mobil kami telah masuk ke stasiun Jatinegara. Cepat sekali mobil ini lajunya, batinku pelan sambil terus mendengarkan dia yang terus berbicara tentang pekerjaannya. Lalu kami pun saling bertukar alamat dan nomor hp, tanpa terasa mobil ini meluncur makin cepat dan aku pun tak menyadari kalau mobil sudah berhenti di stasiun Senen, kalau saja ia tidak memberitahu mungkin aku terbawa dan harus turun di stasiun Kemayoran. Aku pun mengarukkan kepalaku ketika Riezka tertawa geli ketika aku clingukan tidak percaya kalau mobil ini ternyata sudah berjalan meninggalkan stasiun kereta, entah dia sengaja atau ingin mengerjaiku tapi yang jelas stasiun Senen telah lewat. Aku pun tak bisa menyembunyikan rasa geliku dan ikut tertawa dengannya. Tinggal para penumpang di sekitar kami yang terheran melihat ketawa kami yang lalu.
Hari, minggu dan bulan pun berlalu, setelah perkenanlan dengannya, aku yang biasa malas untuk berangkat kerja, kali ini aku merasa kan hal yang beda. Pagi ini begitu berbeda, begitu mengoda, begitu mengairahkan. Aku seperti melihat Mentari pagi selalu tersenyum, menunggu lalu mengodaku dengan menyinariku dengan lembut.
"Duh, pagi sekali bangunnya. Sudah rapi pula. Bukannya mobilnya masih lama datangnya, "ujar ibuku yang heran melihat perubahan di dalam diriku. Jam 5.30 aku sudah bangun, setelah selesai sholat Shubuh aku pun lalu mandi dan tak lupa ibadah rutinku, yaitu bercermin di kaca besar di ruang tamu.
"Biasa bu, ada yang lagi jatuh cinta," ujar kakakku Rossa, ya, tentu saja ia tahu kalau aku sedang jatuh cinta, karena aku sering curhat kepadanya dan pula kamarku bersebelahan dengannya. Ia pasti menguping pembicaraanku dengan Riezka di telepon. "Trang ... triiing, trang-tring, SMS teruus, teleponan teruuus," ledeknya lagi.
"Namanya juga anak muda," kataku membela diri. Dan aku pun hanya ikut tertawa saja ketika adik bungsu ku Ririn ikut juga mengodaku. Sedangkan Nissa kakaknya hanya tersenyum geli saat aku bergaya dengan genit di depan cermin tersebut. Keluarga kami memang selalu bangun pagi dan biasanya aku yang terakhir kalinya. Tapi semenjak aku jatuh cinta, maka aku yang kedua setelah ibu yang bangun terlebih dahulu. Adik perempuan pun memang biasa bangun pagi karena sekolahnya jauh di Salemba, sedangkan kakak perempuanku bekerja di daerah Kramat Jati sebagai teller di sebuah bank Pemerintah. Dan ibuku yang cantik ini. Selalu dengan sabar menyiapkan kebutuhan kami. Ibu yang tegar dan yang paling kami sayangi, begitu ujar kami bersama. Aku pun di sini sebagai kepala keluarga menggantikan Ayahku yang telah meninggal karena sebuah kecelakaan di tempat kerjanya lima tahun yang lalu. Oya namaku Wisnu Suharja, aku bekerja di sebuah biro iklan sebagai Desainer dan bulan Juni kemarin genap usiaku 25 tahun.
"Dibawa Nduk kesini, kenalkan pada ibu," ujarnya sambil menyiapkan segelas teh manis panas untukku.
"Tenang bu, nanti juga Wisnu bawa kesini, biar dia kenal semua isi rumah ini," jawabku sambil bersiul-siul. Aku tak bisa memungkiri kalau aku memang lagi mabuk kepayang. Jadi ku biarkan saja suara, tubuh dan sikapku mengekspresikan cinta yang sedang bersemi di hatiku.
Sebulan, dua bulan dan masuk kebulan ketiga, kami pun resmi berpacaran. Kami meresmikannya di taman raya Bogor, aku mengajaknya kesana untuk sekalian refresing kataku, karena aku dan dia menyukai alam bebas maka ia pun begitu senang bila aku mengajaknya kesini, begitu katanya. Cepat ia merasa malas bila ku ajak ke Mall atau sejenisnya.
Cinta kami pun resmi tercatat di hatiku, ya, minggu 16 Januari. Aku takkan lupa hari itu, tutur Riezka sambil tersenyum kearahku dan aku pun mengiyakan juga di hatiku.
Tahun pun berlalu cepat, setahun, dua tahun dan kini masuk ke tahun keempat. Ternyata cinta memang tak selalu indah, terkadang kami selalu bertengkar. Apa saja kami ributkan, kini setelah masuk tahun ke empat, cintaku seperti warna crayon yang tergeletak di meja kerjaku. Dan kali ini hubunganku dengannya seperti sebatang warna crayon ditanganku, Abu-abu gelap. Aku hanya menarik nafasku ketika cinta ternyata sedikit membelenggu waktu dan kesibukanku. Waktu untukku, temanku dan untuk dirinya. Ternyata cinta memang butuh pengorbanan bisikku pelan sambil memutar - mutar crayon tersebut.
Dan akhirnya, yang akan datang pun kini tiba, kami bertengkar hebat ketika aku mulai enggan untuk bertemu dengannya dan kali ini aku membiarkan kemarahannya lalu kepadaku karena aku juga mulai tak sanggup menahan kemarahan di dadaku.
"Kamu berubah," katanya dengan bergetar. Aku tahu bahwa di ujung sana Riezka sedang menahan agar tangisnya tak pecah. Berkali - kali aku mencoba untuk menghindar pulang bersamanya. Sungguh, aku sedang dalam kejenuhanku terhadap dirinya dan mungkin juga dengan cinta ini. Dan memang alasanku terkadang tidak masuk akal, lemburlah, di jemput teman atau di antar oleh teman sekantorku. Dan bila hari libur aku pun sering menghabiskan waktu dengan temanku dan untuk teman spesial ku, cinta lain di hatiku.
"Sebenarnya kamu pulang dengan siapa?" Tanyanya lagi dan kali ini aku mendengar sesugukan kecil tanda ia telah menangis. Aku pun menarik nafasku, sungguh, sebenarnya aku tak ingin membuatnya menangis. Aku tak ingin menyakitinya karena aku aku juga punya kakak dan adikku yang perempuan dan aku pun tak ingin mereka nanti di perlakukan sama. Tapi aku pun tak bisa keluar dari permainanku sendiri.
"Sudah, kalau begini terus, aku cape," ujarnya dengan keras dan tak lama kemudian terdengar bunyi klik ketika aku masih mencoba menjelaskan kepadanya. Aku hanya menarik napas dengan berat, ku tarik bantal di bawah kepalaku dan kubenamkan di atas wajahku mencoba mengusir segala kegundahan di hatiku.
"Cyntia," kataku pelan. Ya, gadis itu lah yang membuat ku tega menyakiti dan menduakan cinta Riezka. Aku mengenalnya ketika aku ikut dalam rapat. Cyntia Semarphie itu nama lengkapnya. Gadis keturunan Chinese asli Surabaya, begitu ia mengenalkan dirinya kepadaku bahkan tangannya pun mengepal tanganku dengan hangat dan lembut. Aku pun langsung kagum dengan sosoknya. Ternyata ada juga wanita seperti ini, ujarku ketika melihat ia penuh dengan rasa percaya diri. Ia berdiri di depanku dengan anggun ketika mempresentasikan produk perusahaannya dalam rapat antara perusahaannya dengan perusahaan tempatku bekerja.
Maka mulailah aku menjalani hidup sebagai pembohong cinta, membohongi diriku, Riezka, Cyntia, ibuku dan semua saudara perempuanku. Tapi yang paling sedih ketika hatiku harus menderita ketika aku memainkan lidah untuk bisa mengatur jadwal agar aku dapat berjalan dengan mereka tanpa mereka berdua tahu. Seribu nasehat dari akal pun ku buang jauh - jauh ketika aku tak menyanggupi menjalaninya.
"Kok bengong," tanyanya sambil menatap mataku.
"Ngga kok," jawabku cepat, sebelum Cyntia bertanya lagi, dengan cepat aku lalu mengajaknya untuk masuk ke teater 3 yang sudah mulai terbuka dari tadi. Ternyata film yang kami tonton tentang cinta seorang laki - laki yang rela mengorbankan apa saja untuk mendapatkan gadis pujaannya. Cyntia bergelayut manja di lenganku, ia terus menatap layar lebar mendengar dialog antara pemuda dan gadis pujaannya di sebuah bukit yang indah. Sejujurnya aku pun tersiksa ketika mendengar ucapan sang pria bahwa cinta tidak bisa di khianati, karena sebenarnya yang di khianatinya adalah hatinya sendiri. Ya, sejujurnya aku pun tak menyangka. Mengapa aku begitu tega lebih mementingkan Cyntia dari pada Riezka. Bukankah kami hanya baru 4 bulan berpacaran sedangkan aku dan Riezka sudah masuk 4 tahun berjalan. Tapi malam minggu ini aku malah memilih berjalan dengan Cyntia dari pada Riezka.
Mengapa aku tidak mampu menolak keinginan Cyntia, mengapa aku begitu tega lebih sering mengecewakan Riezka. Sungguh, sejujurnya aku tak ingin menyakiti dirinya. Karena di dalam lubuh hatiku paling dalam. Aku sangat mencintainya. Tapi sepertinya aku pun terjebak dengan permainanku sendiri dan hatiku pun tak bisa mencegah ketika sosok Cyntia menyihir hatiku.
"Apa yang kamu lakukan malam ini Riezka, maafkan aku. Besok aku akan membayarnya, "ujar batinku pelan. Tanganku pun membelai pelan rambut Cyntia seolah aku sedang membelai rambut Reizka, dan tangan ini seperti bergetar penuh dengan kesedihan.
Minggu, 4 Mei 2008
Taman Raya Bogor.
"Aku minta putus," katanya dengan tegas. Ia menatap mataku dengan tajam. "Aku sungguh - sungguh kali ini." Ia mencoba menyakinkanku dengan sikap dan ucapannya.
"Putus! Kamu bercanda lagi, "kataku memaksa tersenyum, tanganku memainkan rumput - rumput yang menjulur keluar dari sela - sela jari kakiku. Ini sering ku lakukan untuk mengusir rasa cemas dan takut yang tiba - tiba menyelimutiku.
"Bercanda!" Katanya balik. Ia mengeleng keras. "Aku tahu kamu membohongiku, aku tahu Wisnu, kalau kamu selama ini jalan dengan cewek lain."
"Jangan percaya dengan gosip Reizka, mereka hanya ingin memisahkan kita," ujarku membela diri. Sudah berkali - kali Riezka menyanyakan itu padaku dan setiap kali ia menanyakannya, pasti di akhiri dengan pertengkaran. Dan hubungan kami pun menjadi begitu kering, tandus dan menyakitkan dari hari ke hari. Dan kali ini Riezka kembali lagi menanyakan hal yang sama. Air matanya pun jatuh untuk kesekian kali, bukankah mata itu yang pertama kalinya membuatku jatuh cinta kepadanya, mengapa dari situ pulalah kesedihan itu keluar. Aku pun memalingkan pandanganku. Sungguh, tak sanggup aku melihat dia menangis kembali di depanku.
"Wisnu ... Wisnu," ulangnya menyebut namaku, itulah kebiasaan Riezka bila ia sudah kecewa dan lelah berdebat denganku. "Aku sudah menunggumu untuk jujur ​​kepadaku, 4 bulan bukanlah waktu yang pendek untuk mengalah dan menahan segala kegetiran di hatiku. Bahwa kamu selama ini menduakan cintaku. Untuk terakhir kalinya katakan siapa dia Wisnu? "
"Sungguh Riezka, tidak ada wanita lain selain dirimu di hatiku," ulang ku lagi.
"Kalau begitu siapa Cyntia?" Katanya pelan. Ucapan itu langsung menusuk hatiku dengan tepat, seketika aku seperti merasakan rasa sakit yang sangat di hatiku. Belum aku mengucapkan sepatah kata pun, Riezka lalu bangkit dan berlari membelakangiku tanpa sanggup ku cegah. Aku pun tersentak ketika melihat seseorang sedang memeluk Riezka yang menangis di ujung sana.
"Aku tahu dia," batinku pelan. Wanita yang sedang menatapku dengan tajam. Aku tahu mata itu penuh marah dan benci kepadaku. Ternyata ia adalah teman Riezka, resepsionis di kantor Cyntia. Cepat dia tahu hubunganku dengan Cyntia. Pasti dia sering melihatku mengundang Cyntia dan pulang bersamanya. Seketika aku menyesali kebodohanku, tapi semuanya sudah terlambat. Apa yang harus ku lakukan kini, ketika aku memohon kepada akalku, ia hanya mengeleng pelan lalu meninggalkanku dalam kebingungan. Tinggal aku duduk di sini dengan perasaan yang kacau balau.
Sebulan kemuudian. Di sebuah rumah yang asri.
"Assalamu Alaikum bu, Reizkanya ada?" Tanyaku dengan sopan kepada perempuan tua tersebut, usianya tak beda jauh dengan usia ibuku. Jilbab hitamnya menjulur menutup seluruh tubuhnya. Ia tersenyum kepadaku dan menyilahkan ku masuk untuk menunggu Riezka yang baru saja keluar.
"Semoga senyum itu tulus kepadaku," batinku pelan. Coba Ibu mana yang tidak sakit hati bila putrinya di khianati dan di bohongi. Begitu kata ibuku saat aku menceritakan tentang Cyntia. Karena dorongan ibu lah maka aku memberanikan diri untuk datang kesini dan meminta maaf kepada Riezka dan ibunya. Walau yang ku dengar lebih banyak cacian dan makiannya. Tapi aku lega karena mereka telah menumpahkan amarah mereka kepadaku.Dan kedatanganku kali ini sesungguhnya untuk meminta balik lagi ke Riezka, karena sejujurnya aku masih mencintainya dan tak ingin kehilangannnya.
Aku pun duduk di depan kolam ikan di teras rumah. Melihat ikan - ikan lucu yang berenang di dalam kolam membuat ku sedikit terhibur dari segala kegundahan hatiku sejak aku menginjak rumah ini. "Ikan - ikan yang lucu, kalau saja aku sepertimu, mungkin aku tidak harus mengalami seperti ini," ujarku sambil menghembuskan nafas berat di dadaku.
4 tahun memadu cinta dan aku tak percaya bahwa kami harus berpisah dengan cara seperti ini. semoga 4 tahun bersama dapat membuat Riezka kembali kepadaku, kataku dengan diriku sendiri.
"Assalamu Alaikum," terdengar suara dari luar pagar rumah, aku mengenal suara tersebut.Ya, suara Riezka. Aku yang duduk di depan kolam memang terhalang oleh sebuah pohon yang besar di dalam halaman rumah. Dan Riezka tak menyadari kalau aku ada di teras rumahnya. Reizka pun masuk sambil mengandeng seorang cowok di sampingnya. Ia menatap ku dengan perasaan kaget dan lalu membuang wajahnya. Aku pun tercekat ketika Riezka Memperlakukanku seperti itu.
"Sialan," tambahku lagi ketika melihat cowok itu tersenyum ke arahku, 4 tahun yang lalu aku pun tersenyum kearahnya ketika Reizka akhirnya memilihku bukan memilihnya. Dan kali ini ia pasti sengaja membalas senyum tersebut. Kata pikiran burukku.
"Apa kabar, sudah dari tadi," ujarnya basa basi kepadaku. Dan aku pun hanya menjawabnya sekedarnya. Hatiku pun makin sakit ketika Riezka malah langsung masuk kedalam rumahnya tanpa sedikit pun menoleh kearahku. Sepertinya harapanku sudah habis, ia sudah begitu membenciku dan dia pun sudah menjalin hubungan dengan cowok ini, keluh di hatiku. Aku pun langsung pamit meninggalkan mereka. Dengan cepat aku keluar dari rumah yang membuat hatiku seperti terbakar. Lalu menyalakan motorku yang sengaja kutitpkan di sebuah warung di pinggir jalan. "Cinta ini memang sudah berakhir," kataku berteriak keras sampai orang yang berada disekitarku memandangku dengan aneh.
Kini yang ada di dadaku hanya kemarahan atas kebodohanku, kebencianku pada diriku, dan Cyntia yang ternyata juga menduakanku dan jelas - jelas mempermainkan cintaku.Setelah seminggu aku resmi putus dengan Riezka Cyntia kembali ke pacarnya yang ternyata selama ini sedang melanjutkan studinya keluar negeri. Dia memanfaatkan aku untuk hanya sekedar menemaninya dari kesepiannya. Dan ketika pacarnya telah kembali ke Indonesia, dengan cepat ia mendepakku dengan kejam, sungguh Cyntia telah menyakiti hatiku lebih dari Riezka yang memutuskanku.
Jalan Juanda Bekasi begitu lengang sore ini, tanpa ku sadari tanganku menarik gas dengan cepat, begitu juga kakiku yang mencongkel dengan cepat tuas gigi di kakiku. Tanpa ku sadari panel di motorku telah menunjukkan 122 Km perjam dan aku pun makin memacu motorku bak kesetanan. Menumpahkan segala - galanya dengan melarikan motorku secepat mungkin. Suara knalpot yang terdengar keras seperti mewakili kemarahan dan kebencianku.
Tanpa kusadari tiba - tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku dan aku pun reflek membanting setirku, lalu sedetik kemudian aku terlempar ketika motorku menghantam keras badan mobil di depanku, aku pun lalu terjatuh. Samar - samar ku dengar orang - orang berteriak dan mengangkat tubuhku. Setelah itu aku pun tak sadarkan diri. Semuanya gelap di mataku, yang kurasakan tubuhku seperti mati begitu juga hatiku.
Sebulan kemudian.
Suara kokok ayam membangunkanku, kata ibuku. Ayam yang berkokok tanda ia melihat malaikat, aku pun lalu mengangkat kedua tanganku untuk mengucapkan do'a yang di ajarkan oleh ibuku bila mendengar suara kokok ayam. Pagi ini seperti pagi - pagi sebelumnya, setelah aku sembuh dari perawatan karena kecelakaan yang menimpaku, aku pun harus melanjutkan kembali hidupku dan pagi ini aku harus berangkat kembali ke tempat kerjaku. Tak ada lagi nyanyian burung yang menemaniku seperti dulu. Mentari pun seperti memunggungiku, mengapa tiba - tiba semua membenciku, ujarku dengan suaraku yang serak. Aku berjalan tertatih - tatih, luka di hati dan kakiku belum sembuh total. Kapan kebodohan cinta membuatku menderita secara batin maka kecelakaan motor membuatku menderita secara fisik.
"Wiisnu, apa kabar loe,"
Aku tersentak kaget ketika Rudi menyapaku, aku tidak menyadari dirinya yang sudah dari tadi duduk di peron - peron stasiun. "Maaf Rud, aku tidak melihatmu."
"Ngga papa, makanya jangan bengong," katanya sambil tertawa pelan. "Gimana kaki loe, sudah baikan kan."
"Alhamdulilah Rud, lumayan, sudah baikan," jawabku. "Hanya motorku yang tidak bisa di selamatkan, hancur tak berbentuk, motor kesayangan yang sudah ku modifikasi kini hancur begitu saja. Karena aku tak bisa mengkontrol emosiku, "jawabku ketika Rudi menanyakan motor kesayanganku itu.
"Sayang, sebenarnya ..."
"Ruuudi,"
Tiba - tiba dari arah seberang peron, seorang gadis berambut panjang sebahu menyapa Rudi dengan manja. Ia berjalan pelan ke arah kami. Ia ternyata gadis yang cantik, kaca mata bertengker indah di hidungnya yang kecil dan mancung. Sweater hijau gelap dengan celana jeans membentuk tubuhnya yang tinggi semampai.
"Oya, kenalkan ini sepupuku, baru 2 minggu di sini."
"Marizka."
"Wisnu."
Ia mengenggam tanganku, hei ada apa ini, kata ku. Aku merasakan sebuah getaran halus ketika menyentuh tangannya.
"Dingin benar tangannya," katanya sambil tersenyum kepadaku.
"Tapi hatinya hangat kok," goda Rudi sambil memainkan alis matanya. Karuan saja aku menjadi salah tingkah ketika Rudi dan Marizka tertawa geli melihat wajahku yang merona merah sepeti terkena saos tomat.
"Pemalu," bisiknya ke telinga Rudi dan langsung di jawab Rudi dengan anggukan pelan.
"Kurang ajar loe Rud," batinku pelan, lalu mengaruk - garukkan kepalaku yang memang tidak gatal, ini lah kebiasaanku bisa aku sudah mati gaya di depan seorang cewek. Coba apa kata dunia bila mereka tahu kalau aku seperti ini.
Suara dari dalam stasiun Buaran menghentakkan candaan kami seketika, suaranya yang keras membuat kami memandang ke arah timur stasiun. Lampu kuning di moncong mobil mulai terlihat walau masih terlihat samar. Itulah suara pengumuman tentang mobil yang akan datang.
"Mobil pagiku, mobil cinta penuh kenangan," batinku. Entah bagaimana bayangan Riezka hadir di pelupuk mataku dan sumpah demi Allah aku sangat merindukannya dan bahwa sesungguhnya aku tidak siap untuk berpisah dengannya. Bagaimana aku bisa membuang cinta itu dengan cepat. 4 tahun bukan lah waktu yang singkat, semua cinta, sayang dan kenangan begitu tergores dalam di hati, mata dan pikiranku. Tiba - tiba lamunanku berhenti ketika aku mendengar sebuah lagu yang membuatku makin tersedu biru. Ya nada panggilan di telepon Marizka membuat hatiku makin kelabu. Marizka berbicara sebentar lalu menutup handphonenya. Ia lalu melanjutkan candaannya dengan Rudi. Hanya berselang beberapa detik, lagu itu terdengar lagi dan makin keras terdengar di hatiku reflek getaran di celanaku membuatku menarik ponsel tersebut dengan tanganku.
"Dan jantung ku pun berdetak saat engkau ada di dekatku - Mungkinkah diriku telah jatuh cinta pada dirimu - Sepisah diriku mencoba melupakanmu - Tapi ku tak bisa kau selalu ada dalam hatiku," lagu itu berulang - ulang mengusik hatiku, dan tanpa sadar Rudi dan Marizka menatapku heran yang terus memandang ponselku.
"Angkat Wis," kata Rudi menyadarkanku. Aku yang masih dalam kebingungan lalu memencet tombol pesan yang baru masuk ke dalam ponselku dan ternyata nada itu adalah nada untuk pesan yang masuk ke dalam ponselku ..
"Assalamu alaikum Wisnu, maaf kalau aku mengabarkanmu lewat sms, Sabtu depan aku akan menikah dengan ...," seketika mataku tak dapat melanjutkan membacanya. Yang aku tahu bahwa aku telah merasakan sesuatu hilang di dalam diriku. Dan aku tahu itu, ya, aku telah kehilangan harapan ... sebuah harapan.
Dua tahun kemudian.
Pukul 6 sore. Stasiun Senen.
Matahari berwarna kuning kemerahmerahan tanda ia akan tidur dalam kesendiriannya. Di stasiun Senen sore ini begitu banyak orang - orang yang berlalu lalang, terkadang aku berpikir dalam hatiku, mengapa manusia begitu sibuk dengan urusannnya dan mengapa mereka tidak pernah lelah sedikitpun. Aku hanya duduk di kursi panjang, menunggu mobil yang akan membawaku pulang. Terkadang dalam kesendirianku sangat menyakitkan di hatiku.
"Dua tahun, tak kusangka aku masih sendiri tanpa cinta di hatiku," ucapku sambil menatap mobil yang berhenti di depanku. Orang - orang lalu bergegas naik kedalamnya.Pemandangan sepasang kekasih yang saling melepas kerinduan di depanku mengusik hati dan mataku. Aku pun tersenyum memandang sang pria yang begitu berat meninggalkan wanita pujaannya. Entah berapa lama mereka akan berpisah, tapi sepeti terlihat seakan berpisah untuk jangka waktu yang lama. "Mungkin kah aku menemukan cintaku lagi," bisikku sambil terus memandang mereka. "Wahai cinta tunjukkan jalanmu untukku." Aku pun melangkah gontai ketika kereta senja ku telah datang dari arah barat.
"Kamu tahu Wisnu apa kesalahanmu," suara ibu mengejutkanku. Aku yang sedang melamun di balai bambu teras rumahku hanya tersenyum sambil memandang wajah tua tersebut. "Kesalahanmu yang paling besar adalah, kamu tidak menghargai apa yang kamu miliki. Tidak menjaganya, memeliharanya dan merawatnya. Cinta yang kembali madu di hatimu akan berubah menjadi racun ketika kamu menghianatinya.
"Cinta memang dasyat Wisnu, ia bisa menerbangkan setinggi - tingginya tapi juga bisa membuat siapa pun terhempas jatuh. Ibu tak ingin kamu menangisi cinta, atau menangisi Riezka. Karena cinta tidak untuk di tangisi dan Riezka tidak tersurat dalam jodohmu. Jadi berhentilah menyiksa hati dan pikiranmu. Penyesalanmu harus di tebus dengan sikap untuk tidak mengulanginya lagi bukan dengan menyiksa dirimu. Jadilah Wisnu seperti dulu, Wisnu yang riang ketika cinta hadir di hatinya dan kali ini hadirkan cinta itu dalam wujud cintamu pada ibu, kakakmu dan kedua adikmu. Karena cinta itu tak kan pernah pergi dari hatimu. "Tutur ibu sambil menunjjuk - nunjjuk jarinya di atas dadaku. Aku hanya bisa tersenyum sambil menatap manja ibuku.
"Wahai cinta, tolong tunjukkan jalan itu sekali lagi padaku. Tak ada yang ku janjikan padamu, kecuali kesetiaan dan penyesalan, "bisikku sambil memandang jendela mobil di depanku. Kata - kata ibuku masih tergiang di telingaku. Rel - rel baja berbunyi keras ketika roda - roda mobil melaju di atasnya dengan cepat. "Tak pernah mobil ini lengang," keluhku ketika tubuhku terdorong ke kanan dan kekiri ketika mobil bergerak dengan cepat.
"Ups maaf," ujar seorang gadis kepadaku.
"Maaf, untuk apa," jawabku tenang setelah perempuan tersebut mengulang untuk ketiga kalinya.
"Jaketnya, kena tumpahan air mineralku," katanya dengan penuh menyesal. Aku pun melihat bagian jaketku yang basah terkena air mineralnya. Tapi sungguh aku tidak peduli dengan jaketku yang basah, karena hatiku begitu pilu dan membiru.
"Maaf ya," ujarnya lagi sambil menundukkan kepalanya.
"Santai aja, nanti juga kering," ujarku sedikit kikuk ketika melihatnya langsung meminta maaf. Aku lalu kembali melihat jalan dari mobil jendela di depanku. Lalu lalang kendaraan yang kulihat dan lampu jalan yang buram makin membuat pikiranku mulai terhanyut.
"Saya Noviyanti," ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
"Wi ... Wisnu," jawabku, suara Novy membuat lamunanku tiba - tiba hilang. "Wah, dia mengenalkan dirinya terlebih dahulu, tak kusangka gadis yang berani ini," batinku sambil mengagumi keberaniannya.
"Turun di mana?"
"Buaran."
"Aku turun di Stasiun Klender," jawabnya pelan.
"Kerja di mana Novi atau Yanti?" Tanyaku.
"Novi aja, kerja di Kota."
"Kota!" Jawabku dengan tanda seru yang besar di hatiku.
"Iya kota," jawabnya seperti heran dengan nada suaraku.
"Cinta akan menemukan jalannya dan ia akan memilih jalannya yang terbaik untukmu." Tiba-tiba aku tersentak ketika suara tadi terdengar jelas di telingaku.
"Kok kaya kaget gitu Wisnu?" Tanya Novi dengan heran melihat sikapku.
"Ngga ... ngga papa kok," ujarku sambil tersenyum lebar. Tak terasa mobil yang biasanya lambat, malam ini terasa begitu cepat. Dan suara roda kereta yang selama 2 tahun ini begitu menyebalkan di telingaku pun kini berganti menjadi nada - nada syair untukku, Novi lalu turun di stasiun Klender sambil menitipkan sebuah kartu nama untukku. Sepertinya aku tak lagi sendiri dalam perjalanan berangkat maupun pulang, bisik di hatiku sambil terus menatap kartu nama yang indah di tanganku. "Percayalah, cinta akan menemukan jalannya," Tiba - tiba aku teringat kembali dengan kata - kata ibuku.
* Cerita ini untuk siapa pun yang sedang mencari jalan cinta untuknya. Percayalah, cinta akan datang tanpa kita sadari dari mana ia akan datang. Ketika ia datang, percayalah dengan pilihan hatimu. Mungkin ia akan salah, tapi ia takkan memungkirinya kalau kamu jatuh hati kepadanya. Thanks for Love and friendships, you make we cry and smile - Arif. ^ ^
SEKIAN
13036951461459463397

0 Response to "Pelangi Mobil Senja"